Penegakan HAM di Mesir Terabaikan sejak Konflik Timur Tengah – DW – 21.10.2024
  1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penegakan HAM di Mesir Terabaikan sejak Konflik Timur Tengah

21 Oktober 2024

Mesir berupaya menjadi penengah perang Israel-Hamas, pemerintah lain pun bersedia memaafkan catatan suram penerapan hak asasi manusia di negara itu.

https://p.dw.com/p/4m27X
Presiden Mesir Al-Sissi pada pembukaan sebuah proyek besar
Situasi keuangan dan geopolitik Mesir telah membaik sejak 7 Oktober 2023.Foto: Egyptian President Office/Zuma/picture alliance

Fokus Mesir hingga akhir tahun 2023 terutama masalah ekonomi yang mendera negara itu. Hal ini otomatis melemahkan pengawasan atas catatan hak asasi manusianya, serta kritik atas kegagalan pemerintah di Kairo untuk menerapkan struktur demokrasi dan reformasi politik.

Presiden Abdel Fattah el-Sissi secara luas dipandang sebagai penguasa otokratis yang berhasil menduduki masa jabatan ketiganya dalam pemilihan presiden bulan Desember 2023 dengan merepresi kandidat oposisi dan membungkam perbedaan pendapat.

Sementara itu, organisasi hak asasi manusia internasional menyebutkan, jumlah tahanan politik di penjara Mesir lebih dari 70.000.

"Kairo telah berhasil memanfaatkan krisis Timur Tengah untuk memajukan kepentingan finansial dan signifikansi geopolitiknya," kata Timothy E. Kaldas, wakil direktur Institut Tahrir untuk Kebijakan Timur Tengah yang berpusat di Washington, kepada DW.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Imbalan politik

Sejak dimulainya perang Israel melawan Hamas di Gaza, diplomat AS, Qatar, dan Mesir sering bertemu di Kairo untuk merundingkan gencatan senjata yang sulit dicapai di Gaza dan pembebasan sandera.

"Meski Qatar tampaknya memainkan peran yang jauh lebih penting di sini, Mesir setidaknya tetap dianggap sebagai negara yang berpengaruh," kata Christian Achrainer, peneliti di Universitas Roskilde Denmark, yang telah banyak menerbitkan karya tentang Mesir, kepada DW.

Achrainer mengatakan, keunggulan baru Mesir di Timur Tengah dan Afrika Utara telah membungkam komentar eksternal tentang pelanggaran hak asasi manusia, yang membuat el-Sissi semakin berani untuk terus memenjarakan orang.

Sementara sebagian besar warga Mesir mendukung warga Palestina di Gaza, kritik keras terhadap perjanjian damai Mesir dengan Israel, yang ditandatangani pada tahun 1979, atau terhadap kolaborasi dengan Israel atau AS, tetap dikekang oleh aparat keamanan Mesir.

"Pada umumnya untuk saat ini kritik bisa dikatakan tidak ada," kata Achrainer.

Mitra kemanusiaan bagi Barat?

Perlintasan Rafah di selatan Gaza menuju Mesir adalah satu-satunya perbatasan darat yang tidak mengarah ke Israel, dan menjadi gerbang masuk utama untuk barang-barang kemanusiaan ke Gaza.

"Mesir telah memperoleh dukungan tambahan dari Washington dengan bekerja sama dengan Israel terkait izin pengiriman barang ke Gaza," kata Kaldas.

Kaldas mengatakan lebih lanjut, Mesir diberi imbalan yang besar atas upaya ini. Gedung Putih memberikan bantuan militer senilai $1,3 miliar ke Mesir pada tahun ini. 

"Padahal sebelumnya, Washington setidaknya menahan sebagian bantuan karena ada persyaratan hak asasi manusia," kata Kaldas. Ia mengatakan pejabat AS lebih memprioritaskan kerja sama Mesir dengan Israel dan Amerika Serikat daripada hak dan kebebasan warga Mesir.

"Menteri Luar Negeri Antony Blinken baru-baru ini, tanpa dasar dan sama sekali tidak meyakinkan, menyatakan bahwa Mesir membuat kemajuan dalam penanganan tahanan politik dan hak serta kebebasan, padahal sebenarnya keadaan di Mesir justru jauh lebih buruk," kata Kaldas.

Para pengamat sepakat bahwa lebih banyak orang yang ditahan di Mesir daripada yang dibebaskan.

"Presiden el-Sissi telah memanfaatkan krisis yang diciptakan oleh perang Israel di Gaza dan Lebanon untuk memposisikan dirinya sebagai mediator penting dalam konflik tersebut," kata Sarah Whitson, direktur eksekutif organisasi hak asasi manusia yang berkantor pusat di Washington, DAWN kepada DW.

"Pemerintah Mesir melakukan hal itu untuk mengalihkan perhatian dari krisis hak asasi manusia yang menghancurkan di Mesir dan korupsi yang sangat parah di negara itu," papar Sarah Whitson lebih jauh.

Salah satu tahanan paling terkenal di negara itu, penulis dan aktivis Inggris-Mesir berusia 42 tahun, Alaa Abdel-Fattah, masih mendekam di penjara, meski seharusnya kini sudah dibebaskan. Pada akhir September 2019 ia dijatuhi hukuman lima tahun penjara. 

Seorang pria muda membungkus roti di sebuah pasar di Kairo, Mesir
Harga bahan pokok telah meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir, dan kian menghimpit ekonomi rakyat.Foto: Amr Abdallah Dalsh/REUTERS

Pada bulan Januari 2025, Mesir harus membuktikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa bahwa mereka telah melakukan upaya untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Ini menjadi secercah harapan bagi El-Fattah dan ribuan jurnalis, politisi, dan oposisi lainnya yang masih dipenjara.

Mesir dilanda krisis ekonomi berkepanjangan

Hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali dari lebih dari $57 miliar bantuan atau pinjaman yang diberikan oleh Bank Dunia, Uni Eropa, dan negara-negara Teluk tahun ini, yang menetes ke penduduk Mesir yang sebagian besar miskin.

Inflasi tetap tinggi pada kisaran 26%, dan harga makanan pokok telah meroket lebih dari 70%. Keadaan ini sungguh sulit bagi sepertiga dari 113 juta penduduk Mesir yang berada tepat atau di bawah garis kemiskinan. Mesir telah bertahun-tahun mengalami krisis ekonomi.

Namun, bantuan ekonomi mungkin akan kembali berdatangan dari wilayah regional. Pada bulan ini saja, pejabat tinggi dari berbagai negara telah melakukan kunjungan ke Mesir.

Pada hari Selasa (22/10), Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman akan bertemu el-Sissi di Kairo, untuk membahas investasi masa depan dan perjanjian perdagangan. Sementara dua tahun lalu, Mesir hanya bisa berharap mendapatkan hibah Saudi untuk mencegah keruntuhan finansial.

Selain itu, pada hari Rabu (23/10), Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi juga akan mendarat di ibu kota Mesir untuk "pembicaraan penting" dengan mitranya, Badr Abdelatty. Pertemuan terakhir antara menteri luar negeri Iran dan Mesir terjadi pada tahun 2013.

Diadaptasi dari artikel berbahasa Inggris